Sahabatku…
Sesungguhnya salah satu pintu masuk menuju kebahagiaan adalah, 
ketika kita menjadi diri kita sendiri. Keyakinan kita dengan potensi, bakat, 
kekuatan dan karakteristik yang ada pada diri kita, membuat kita merasakan 
keistimewaan dan keunikan yang kita miliki.
Janganlah ragu wahai sahabat, 
bila kita sudah menemukan bakat kita, sekalipun menurut orang lain adalah 
sesuatu yang “remeh”. Ketika kita menjadi diri kita sendiri, maka kita akan 
menjadi orang yang paling bahagia di dunia.
Jika Anda berkumpul dengan 
orang-orang yang pintar pada satu bidang, yang mana bidang itu bukan keahlian 
Anda, jangan Anda katakan pada mereka bahwa keahlian yang mereka miliki juga 
Anda miliki. Keinginan Anda hidup dibawah bayang-bayang mereka justru akan 
melemahkan kedudukan Anda. Mengapa? Karena hal itu jelas akan menghilangkan 
kelebihan yang ada dalam diri Anda. Anda hanya berkutat pada kekurangan yang ada 
pada diri Anda. Dan jelas pada akhirnya akan melemahkan Anda, membuat Anda tidak 
bisa melangkah lebih jauh, dunia ini terasa sangat sempit. Jack Trout dalam 
bukunya yang cukup mencerahkan, Differentiatie or Die, berkata tentang hal ini: 
“Jika Anda mengabaikan keunikan Anda dan mencoba untuk memenuhi kebutuhan semua 
orang, Anda langsung melemahkan apa yang membuat Anda 
‘berbeda’.”
Jujurlah dan katakan pada mereka, “Maaf, ini bukan bidang 
saya. Saya bodoh pada masalah yang kini sedang kalian bicarakan. Saya tidak 
tahu, apakah keahlian saya dapat digunakan untuk membantu kalian atau tidak.” 
Ketika Anda memberitahukan kepada mereka bahwa keahlian Anda di bidang B bukan 
A, mereka akan lebih antusias kepada Anda. Mereka akan lebih percaya, salut dan 
bangga berteman dengan Anda. Percayalah kepadaku tentang hal ini. “Anda adalah 
sesuatu yang berbeda dengan lainnya. Tidak pernah ada sejarah yang mencatat 
orang seperti Anda sebelumnya dan tidak akan ada orang seperti Anda di dunia ini 
pada masa yang akan datang.” (Dr. Aidh Abdullah Al Qarni dalam bukunya, La 
Tahzan)
Wahai sahabatku…
Tidak ingin menjadi diri kita sendiri 
disebabkan oleh keinginan kita untuk mendapatkan pujian manusia. Kita ingin 
menjadi populer di mata masyarakat. Sebuah hasil penelitian psikologi 
menyebutkan: orang-orang yang ingin menjadi populer seringkali tidak jujur. “Dan 
mereka sendiri senang dipuji dengan amal yang mereka sendiri tidak 
mengerjakannya.” (QS. 3: 188).
Membuat diri terkenal, itu bukan tujuan 
hidup kita. Kita hanya disuruh berbuat sebaik mungkin. Jika niat kita sudah 
salah, maka hasilnya pun akan tidak maksimal. Jika niat kita ingin terkenal 
tidak segera terwujud, kita hanya bisa larut dalam kesedihan karena tujuan hidup 
kita sudah terkandaskan. Sedangkan tujuan itu sendiri adalah final kehidupan. 
Tidak ada lagi kehidupan sesudah gagal mencapai titik final. 
Berbeda 
dengan orang yang menyesuaikan tujuan hidupnya hanya untuk beribadah kepada 
Allah; kegagalan dalam menghadapi sebuah episode kehidupan dunia ini bukan 
berarti kegagalan segala-galanya. “Jangan berambisi mencari popularitas, karena 
tabiat tersebut adalah indikasi dari kekeruhan jiwa, kegelisahan, dan 
keresahan.” (Dr. Aidh Al Qarni).
Seburuk apapun karya kita dan sekecil 
apa pun prestasi kita, hargailah itu! Semua itu kita peroleh dari hasil kerja 
keras kita, hasil kejeniusan otak kita, dan hasil kreativitas kita. 
Sungguh, alangkah berbahagianya orang yang mencari ridha hanya kepada 
Allah semata. Dia tidak ingin menjadi populer di mata masyarakat. Jika 
masyarakat tidak menghargai karyanya, itu hal biasa baginya. Karena Allah 
sendiri telah berfirman: “Kebanyakan manusia tiada mengetahui.” Artinya hanya 
sedikit saja manusia yang dapat memahami kebenaran. Namun, bukan berarti bahwa 
dirinya lebih hebat dan lebih suci dari orang lain. Dia telah mendengar firman 
Allah yang berbunyi: “Janganlah kalian mengklaim diri kalian suci. Dialah yang 
paling mengetahui siapa yang bertakwa.” (QS. 53: 32).
Jika masyarakat 
menghargai karyanya, sekali-kali tidaklah ia menyombongkan diri. “Dan janganlah 
kalian (orang-orang beriman) berperilaku seperti orang-orang (kafir) yang keluar 
dari kampung halaman mereka dengan rasa angkuh dan bersikap riya kepada 
manusia.” (QS. 8: 47).
Sebuah kisah menyebutkan, seorang muslim yang 
fakir bernama Julaibib gugur dalam sebuah pertempuran melawan pasukan kafirin. 
Lantas Rasulullah SAW pun memeriksa orang-orang yang gugur dan para sahabat 
memberitahukan kepada beliau nama-nama mereka. Akan tetapi, mereka lupa kepada 
Julaibib hingga namanya tidak disebutkan, karena Julaibib bukan seorang yang 
terpandang dan bukan pula orang yang terkenal. Sebaliknya, Rasulullah ingat 
Julaibib dan tidak melupakannya; namanya masih tetap diingat oleh beliau di 
antara nama-nama lainnya yang disebut-sebut. Beliau sama sekali tidak lupa 
kepadanya, lalu beliau bersabda: “tetapi aku merasa kehilangan Julaibib!” 
Akhirnya, beliau menemukan jenazahnya dalam keadaan tertutup pasir, lalu beliau 
membersihkan pasir dari wajahnya seraya bersabda sambil meneteskan airmata: 
“Ternyata engkau telah membunuh tujuh orang musuh, kemudian engkau sendiri 
terbunuh. Engkau termasuk golonganku dan aku termasuk golonganmu; Engkau 
termasuk golonganku dan aku termasuk golonganmu; Engkau termasuk golonganku dan 
aku termasuk golonganmu.” Cukuplah bagi Julaibib dengan medali nabawi ini 
sebagai hadiah, kehormatan, dan anugerah.
Wahai sahabat…
Seperti 
Julaibib, tidak ingin menjadi orang terkenal dan terpandang. Seperti Julaibib, 
hidup menjadi dirinya sendiri. Seperti Julaibib, mengakhiri hidupnya dengan 
penuh kedamaian dan kebahagiaan. Tidakkah kita ingin mendapatkan apa yang telah 
didapatkan Julaibib? (Imam Syamil) 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar